Rabu, 28 Desember 2016

Ijma’ sebagai Sumber Hukum Islam



Ijma’ berarti sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah Ijma’
Mempunyai arti “Kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad SAW, setelah beliau wafat, pada masa tertentu dan tentang masalah tertentu”.
Jadi dari pengertian dia atas dapat diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau sesepakatan orang-orang yang semasa dengan Nabi tidaklah dikatakan Ijma’.
Adapun kesepakatan ulama tersebut bisa ditetapkan dengan tiga cara, yaitu :
1.    Melalui ucapan (qauli), yakni kesepakatan berdasarkan pendapat yang dikeluarkan para mujtahid yang diakui sah dalam suatu hukum.
2.    Melalui perbuatan (fi’l), yakni kesepakatan para mujtahid yang diakui sah dalam mengamalkan sesuatu.
3.    Melalui diam (sukut), yakni apabila tidak ada diantara mujtahid yang membantah terhadap paendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah atau hukum.

Mayoritas ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan
sumber hukum Islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahannya bersifat zhanny. Golongan Syi’ah memandang ijma’ sebagai hujjah yang harus diamalkan. Sedangkan ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma’ sebagai dasar hukum, baik ijma’ ‘qath’iymaupun zhanny. Adapun ulama-ulama Syafi’iyah hanya memegangi ijma’ ‘qath’iy dalam menetapkan hukum.
Dalil yang menjadi penetapan ijma’ sebagai sumber hukum Islam adalah firman Allah surat An-Nisa ayat 59 “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulul Amri diantara kamu”.
Sebagian ulama menafsirkan Ulul Amri dengan dua macam yaitu : Ulil Amri fiddunya, yaitu penguasa atau pemimpin dan Ulil Amri fiddin, yaitu mujtahid. Sebagian lagi metakwilkannya dengan ulama.
Dengan demikian apabila para mujtahid telah sepakat terhadap suatu ketetapan hukum suatu masalah atau peristiwa maka mereka wajib ditaati dan dikuti umat. Ijma’ menempati tingkat ketiga sebagai
sumber syar’i setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebab-sebab dilakukannya ijma’ adalah :
1. Adanya masalah yang harus dicari status hukumnya
2. Karena nash 
Al-Qur’an dan hadits tidak turun lagi
3. Jumlah mujtahid pada masa itu belum terlalu banyak, sehingga mudah dikoordinir untuk bersepakat
4. Para mujtahid belum banyak perpecahan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar